Sabtu, 04 Juni 2011

NGENDHONG MUYEN,
EKSISTENSIMU DULU DAN KINI

A. Latar Belakang
Masyarakat Jawa sangat dikenal oleh suku lain di negeri ini sebagai salah satu suku yang banyak memiliki keaneka-ragaman budaya. Baik yang bersifat religius, filosofis hingga budaya yang bernuansa mistis. Dikatakan religius dan filosofis karena didalamnya memiliki nilai agamis berupa doa-doa dan nilai-nilai falsafah hidup orang jawa, dan hingga era modern sekarang ini sebagian masyarakat masih tetap mempertahankannya, seperti budaya Mitoni bagi ibu yang hamil 7 bulan, Ngendong Muyen, Tedhak Siti, Among-among dan lain sebagainya.
Kebudayaan yang pada awalnya tidak diketahui secara pasti ini, semua bermuara pada satu tujuan, yakni mendapatkan keselamatan dan keberkahan atas diri objek yang melakukannya dan lebih luas kepada orang-orang yang ada di sekitar lingkungan atau komunitasnya. Bagi pihak yang diluar komunitas, mereka yang melakukan suatu tradisi budaya biasanya dianggap mengabaikan unsur keyakinan agama. Padahal belum tentu, karena tradisi budaya yang dilakukan juga merupakan suatu hal yang tidak dilarang dalam agama mereka.

Ternyata banyak pula yang melakukan tradisi budaya dengan tetap memegang nilai-nilai agama yang dianut. Contoh kongkrit adalah ketika dilakukan tradisi upacara selamatan menjelang panen padi bersama. Dahulu sebelum dimulai upacara dilakukan pembakaran dupa (kemenyan), namun kini telah dirobah dengan melakukan Sholawatan yaitu nyanyian puji-pujian terhadap Nabi Muhammad SAW.
Tradisi budaya yang sering dilakukan dengan melibatkan banyak orang, sejatinya berangkat dari kebutuhan masyarakat jawa terhadap pesan-pesan yang bermakna dan ingin disampaikan kepada komunitasnya. Karena pesan yang bermakna ini tidak mungkin disampaikan secara interpersonal atau orang per orang, maka dibuatlah pesan non verbal yang dapat menarik perhatian orang lain. Dengan daya tarik itulah orang yang merasa berkepentingan segera menyampaikan pesan verbalnya.
Pesan verbal yang disampaikan secara langsung dalam kelompok atau komunitas mereka, biasanya berisi tentang dorongan untuk melakukan hal-hal yang baik terhadap diri maupun orang lain. Disinilah makna pesan yang sangat berarti bagi keberlangsungan hidup bersama dalam satu kelompok kecil maupun kelompok yang lebih luas cakupannya.
Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa media penyampaian pesan dapat dilakukan melalui berbagai cara, seperti dalam pelaksanaan tradisi budaya, acara kesenian bahkan ketika sedang ngobrolpun, pesan dapat disampaikan, tergantung pada efektivitas dan kesempatan kelompok serta cengan cara apakah pesan disampaikan, verbal atau non verbal.
Dalam praktik tradisi budaya, biasanya pesan non verbal yang disampaikan tidak langsung mendapat tanggapan dari anggota kelompok, karena diimplementasikan dalam suatu gerakan tertentu yang sebelumnya makna pesan tersebut telah disepakati bersama. Sementara dalam pesan verbal, pesan yang disampaikan biasanya mendapat tanggapan atau efek dari anggota kelompoknya. Hal ini lebih dikarenakan adanya kesempatan bertanya dari anggota kelompok untuk lebih memahami isi pesan yang disampaikan.
Komunitas masyarakat yang masih memegang kuat tradisi budaya cenderung memiliki perasaan senasib yang sama dalam kehidupannya, dan hal inilah yang menarik bagi penulis untuk menuangkan sebuah karya penulisan dengan mengambil judul “Ngendhong Muyen, eksistensimu dulu dan kini”. Penulisan ini juga dilatar-belakangi oleh ketertarikan pada bentuk komunikasi kelompok di Desa Tanggulangin Kecamatan Klirong Kabupaten Kebumen.
Selain ketertarikan pada bentuk komunikasi kelompok, penulis juga tertarik pada materi pesan yang disampaikan dan media yang digunakan dalam penyampaian pesan, serta cara penyampaiannya kepada kelompok. Penyampaian pesan dalam komunikasi kelompok ini dilakukan oleh orang yang dianggap sudah sepuh/tua, yang sekaligus juga merupakan opinion leader di komunitasnya.



B. Pembahasan…………..
B. Pembahasan
1. Fenomena Ngendhong Muyen
Ngendong Muyen merupakan salah satu media penyampaian pesan dalam kelompok tertentu yang jumlah anggotanya sekitar 7 (tujuh) hingga 13 (tiga belas) orang. Anggota kelompok ini masing-masing memiliki peran yang cukup penting dalam penyampaian pesan sesuai dengan pembagian tutur atau tembang macapat yang dikuasainya.
Pelaksanaan kegiatan Ngendhong Muyen ini biasanya dilakukan ketika seseorang memiliki anak pertama, baik laki-laki maupun perempuan, dan atau anak laki-laki pertama/mbarep. Karena menurut kepercayaan masyarakat setempat, kelahiran bayi merupakan sesuatu hal yang harus mendapat perhatian khusus bagi masyarakat setempat maupun kelompok tertentu di tengah masyarakat.
Sebagai ungkapan bahagia telah mendapat titipan berupa bayi, maka keluarga yang baru mendapat amanah tersebut mengundang kelompok Tutur untuk Ngendhong di rumah orang yang baru memiliki bayi. Dan kehadiran para anggota kelompok Tutur ini biasanya melalui undangan dari pemilik rumah/yang punya bayi.
Bagi keluarga yang baru memiliki anak pertama, biasanya ngendhong muyen dilakukan hingga larut malam, bahkan tidak jarang hingga dinihari. Hal ini kadang membuat pemilik rumah merasa terganggu dengan suara kidung macapat yang dilantunkan oleh anggota kelompok yang rata-rata sudah berumur/sepuh.
Dapat dibayangkan, betapa suasana serba tidak mengenakkan jika pelantun kidung tersebut memiliki suara yang parau, fals dan kadang diselingi batuk. Belum lagi asap rokok kemenyan yang tidak pernah terhenti dari mulut anggota kelompok, menambah suasana menjadi gerah dan tidak sehat bagi bayi maupun penghuni rumah tersebut. Namun itulah kenyataannya dalam Ngendhong Muyen.
2. Pesan Dalam Kidung
Seperti telah diungkapkan sebelumnya, dalam pelaksanaan Ngendong Muyen terkandung makna pesan yang bernilai filosofis maupun agamis. Dikatakan mengandung makna filosofis karena menyangkut nilai-nilai kebenaran dalam hidup, dan makna agamis karena didalamnya juga berisi pesan-pesan keagamaan dan juga bacaan doa secara Islami, yang kesemuanya bermuara pada kebajikan.
Pesan moral ini disampaikan melalui kidung atau tembang Macapat yang kesemuanya berjumlah 11 (sebelas), dan kesemua kidung ini memiliki makna yang berbeda-beda sesuai dengan tingkatan atau fase kehidupan manusia sejak lahir hingga kematian.
Kidung yang dilantunkan ini sejatinya pertama ditujukan kepada keluarga bayi agar dalam merawat bayi benar-benar memperhatikan fase yang bakal dilalui sang bayi hingga akhir hayatnya. Kemudian yang kedua ditujukan kepada ibu bayi, agar dalam merawat bayinya benar-benar memperhatikan dedhaharan/makan. Dan tidak kalah penting dalam merawat dirinya setelah memiliki bayi, harus benar-benar memperhatikan salira/badan. Karena biasanya jika perempuan yang sudah memiliki anak cenderung tidak mempedulikan perubahan pada tubuhnya, yang berakibat pada kurang mesranya hubungan suami istri.
Berikut catatan kidung Macapat, yang tidak semuanya akan dituliskan kidungannya maupun terjemahannya :
a. Mijil.
Mijil berarti keluar dari perut ibunya, melambangkan suatu mahluk hidup baru yang kehadirannya ditunggu dengan sukacita dan perasaan was-was, seperti menunggu datangnya wahyu atau dewa dari kahyangan.
Mijil, langen nira sang narapati
Lampahira alon,
Ginarebeg bedaya, warna nira
Solahira wingit.
Lir Jawata tumurun…sari, sari…
Terjemah bebas :
Lahir..lahirlah kau sang pengharapan
Dengan perlahan-lahan
Diiringi dengan tarian sukacita
Dan rasa was-was
Seperti layaknya menunggu kehadiran dewa..

b. Sinom
Yang berarti Isih nom (masih muda), melambangkan seorang anak yang masih muda seperti daun yang baru tumbuh.
Diyu ditya manungsa senadyan dewa,
Nora kena nimbangi,
Guna kuringaprang,
Mengko monyet ngalunyat,
Peksa lumuwih neng bumi,
Lah kalahana,
Wuk kuring aprang dhingin.
c. Maskumambang
Yang terdiri atas kata mas : perhiasan, kumambang : kelihatan terapung, sehingga diterjemahkan seperti perhiasan yang terlihat. Pesan yang tersirat adalah bahwa ketika mulai akil baligh, seorang anak akan terlihat menarik seperti layaknya emas.
d. Asmaradana
Yang terdiri atas kata Asmara : cinta, dana : memberi, diterjemahkan suka memberi sesuatu kepada orang lain. Isi pesan yang tersirat adalah bahwa manusia hendaknya suka memberi, berdarma, infak, zakat kepada orang lain dengan ikhlas.
e. Dhandhanggula
Berasal dari kata dhandhang : hitam, dan gula : manis. Melambangkan kehidupan seseorang yang telah merasakan manisnya hidup berkeluarga
f. Kinanthi
Berasal dari kata “kanthi” yang diberi sisipan “in”, menjadi Kinanthi, yang artinya digandeng, disertai atau ditemani. Maknanya adalah bahwa kita harus bisa menyertai atau menggandeng orang lain untuk menuju suatu kebenaran yang berdasarkan agama.


g. Gambuh
Artinya selaras, serasi. Melambangkan kehidupan rumah tangga yang benar-benar serasi sesuai dengan yang diidamkan ketika mengikat janji pernikahan.
h. Durmo.
Asal kata Dur : mundur, dan mo : momor, yang berarti mundur dari urusan duniawi karena sudah mulai berusia tua, dan mempersiapkan diri menghadapi kehidupan ukhrawi yang kekal.
i. Pangkur
Berasal dari kata nyimpang : menyimpang dan mungkur : membelakangi. Mengandung pesan bahwa orang jangan sekali-kali dalam hidup menyimpang atau membelakangi pegangan hidup (Al Qur’an)
j. Megatruh.
Asal dari kata megat : memisahkan dan ruh : roh. Yang diartikan memisahkan diri dari hati yang kotor, dan mendekatkan diri pada perbuatan yang baik sesuai tuntunan dalam ruh Al Qur’an.

k. Pucung atau Pocong.
Yang berarti mati dengan dibungkus atau dipocong kain putih (mori) yang melambangkan kesucian diri telah melakukan perjalanan didunia dengan sempurna.

3. Kajian Teori
Ngendhong Muyen merupakan bentuk komunikasi kelompok yang dilakukan secara langsung dihadapan orang atau anggota kelompoknya. “Komunikasi kelompok merupakan komunikasi antara seseorang dengan sekelompok orang dalam situasi tatap muka”. (Onong, 1990:126).
Sementara menurut Steven A.Beebe dan John T.Masterson dalam bukunya : “Communicating in Small Groups” dikatakan bahwa dalam komunikasi kelompok kecil, terdapat beberapa elemen yang menyertainya, antara lain :
a. Leadership
Leadership of the definition of small group communication, concerned mutual influence. Leadership is behavior that exerts influence on the group.
b. Goal.
A goal may be to provide therapy for member, to complete some designated task, or simply to have a good time. Individual group also have goals. Often individual goals complement the group goal; sometimes, through, they do not.
c. Norm.
Norm are ruler that establish which behavior are permitted or encovraged within the group and wich are forbidden or discovraged.
d. Roles
Are sets of expectations people hold for themselves and for others in a given context. People different roles in different groups

e. Cohesiveness
Is the degree of attraction group members feel toward one another and toward the group. Feelings of loyalty help unite the group.
f. Situation
The context in wich group communication occurs is of paramount important. The task is significant, but many other important situational variable exist. Such as group size, the physical arrangement of group members, the location or setting, the group’s purpose, even the amount of stress placed on the group by time constraints or otherinternal or external pressures. (Steven A. Beebe and John T. Materson. Communication in Small Group, 2003: 46, 47).
Didalam pelaksanaan Ngendhong Muyen, peranan seorang yang dituakan dalam kelompok atau Opinion Leader sangat penting, karena biasanya melalui opinion leader ini para anggota kelompok akan lebih dapat dengan mudah menerima pesan yang disampaikan. Namun hal ini juga tergantung pada kecakapan opinion leader, apakah memiliki etos komunikasi yang baik atau bahkan sebaliknya.
Nilai diri seorang opinion leader atau yang dalam hal ini juga disebut komunikator, akan ditentukan oleh beberapa hal seperti cara penyampaian pesan, ketertarikan komunikan, dan daya tarik komunikator itu sendiri dimata komunikannya. Jadi, keberadaan seorang komunikator dalam sebuah komunikasi kelompok sangat menentukan keberhasilan komunikasi dalam kelompok.
Seorang leader dalam komunikasi kelompok harus dapat mempengaruhi anggotanya dalam setiap penyelenggaraan komunikasi secara kelompok. Jika tidak, maka para anggota kelompok tersebut dipastikan akan tercerai berai sebagai akibat tidak adanya kesamaan komando dari seorang leader.
Demikian pula halnya dalam Ngendhong Muyen, sikap dan perilaku serta ucapan seorang leader akan menjadi panutan bagi anggota kelompok dan juga bagi pemilik rumah yang ketempatan penyelenggaraan Ngendhong Muyen.
Setelah leader memiliki etos komunikasi yang baik, maka dalam komunikasi kelompok pasti ada tujuan yang hendak dicapai secara bersama-sama untuk mencapai kesejahteraan bersama. Tujuan ini dirumuskan dalam bentuk kesepakatan-kesepakatan yang dirumuskan secara bersama pula, dengan menegasikan atau menghindari kepentingan individu.
Tidak jarang kepentingan individu muncul ketika suatu kelompok komunikasi tengah merumuskan tujuan yang hendak dicapai, namun dengan adanya seorang komunikator yang memiliki etos komunikasi yang baik, maka kepentingan individu dapat dianulir.
Dalam penyelenggaraan Ngendhong Muyen, tentu ada norma-norma dan peraturan yang mesti ditaati oleh setiap anggota kelompok, hal dimaksudkan agar makna pesan yang terkandung dalam Ngendhong Muyen tidak menyimpang dari paugeran atau koridor yang juga dianut oleh masyarakat diluar anggota kelompok tersebut.
Agar norma dan aturan ditaati oleh anggota kelompok, seorang leader harus dapat membangkitkan perasaan saling memiliki terhadap media Ngendhong Muyen, loyal pada kelompok, dan harus tetap melestarikan tradisi budaya Ngendhong Muyen. Hal ini tidak lain dimaksudkan untuk menjaga nilai-nilai budaya luhur dalam Ngendhong Muyen.
Didalam komunikasi kelompok, faktor situasi juga turut menentukan keberhasilan penyampaian pesan dalam Ngendhong Muyen, karena jika situasi kelompok tidak kondusif, maka penyampaian pesan-pesan komunikasi tidak akan pernah sampai pada sasarannya.

4. Implementasi Dilapangan
Konon pada awalnya, penyelenggaraan Ngendhong Muyen dilapangan selalu mendapat respon positif dari anggota masyarakat yang memiliki bayi. Karena selain dapat memberikan ular-ular atau nasehat kepada keluarga pemilik bayi, juga dapat dijadikan arena ronda kampung. Selain kenyataan itu, warga juga tertarik dengan kidung macapat yang dilantunkan oleh anggota kelompok komunikasi tersebut.
Dijadikannya Ngendhong Muyen sebagai ajang ronda kampung karena pelaksanaannya hingga dinihari menjelang sepertiga malam. Dengan demikian masyarakat akan merasa aman jika di kampung mereka tengah berlangsung Ngendhong Muyen.
Penyelenggaraan Ngendhong Muyen ini pada awalnya tidak hanya semalam atau hingga sepekan, namun berlangsung hingga selapan atau 35 (tiga puluh lima) hari terhitung sejak kelahiran bayi tersebut.
Makna terpenting dari lamanya waktu pelaksanaan Ngendhong Muyen ini adalah mendasari pada jumlah pertemuan hari dan pasaran dalam perhitungan kalender jawa. Selain itu juga mendasari pada permintaan tuan rumah agar pelaksanaan Ngendhong Muyen sampai pada pupak puser (terlepasnya tali pusat/placenta) bayi yang biasanya paling lama 35 hari.


5. Ngendhong Muyen kini…………
5. Ngendhong Muyen Kini.

Sebagai warisan budaya dari nenek moyang, memang suatu saat ada kalanya mengalami pergeseran seiring dengan berkembangnya pengetahuan manusia dijaman modern ini. Terlebih jika dibumbui dengan berbagai unsur-unsur magis.

Meski dalam Ngendhong Muyen ini tidak ada sama sekali unsur magis, namun dalam penyampaian pesannya, komunikator yang nota bene-nya sudah berumur, kadang memasukkan unsur-unsur yang tidak masuk diakal. Hal inilah yang berakibat pada kurang diterimanya Ngendhong Muyen oleh kalangan generasi muda saat ini.

Terlebih bagi komunikator atau opinion leader yang kurang bisa memahami adanya perobahan pola pikir masyarakat, tentu dalam memimpin pelaksanaan Ngendhong Muyen tetap akan mengacu pada pengetahuannya tempo doeloe nyang diterima oleh kakek buyutnya.

Alasan ekonomi rumah tangga pasca pelaksanaan Ngendhong Muyen, juga menjadi pemicu menurunnya harta tabungan keluarga pemilik bayi. Karena pelaksanaan Ngendhong Muyen yang terlalu lama, tentu telah mengeluarkan biaya suguhan yang cukup banyak

Bertitik tolak dari sinilah kiranya, keberadaan Ngendhong Muyen yang sejatinya sarat dengan pesan-pesan filosofis dan agamis secara perlahan hilang, terusik oleh gempitanya budaya barat yang juga mengatas-namakan komunikasi kelompok. Namun komunikasi kelompok seperti apakah? Hanya melalui komunikasi Intrapersonal-lah yang bisa memberikan jawabnya.



C. Penutup………..
C. Penutup
Dari uraian diatas, maka penulis berkesimpulan bahwa, sejatinya tradisi budaya Ngendhong Muyen, merupakan bentuk komunikasi kelompok dengan dengan pesa-pesannya yang sarat dengan nilai-nilai agamis dan filosofis, karena mengandung ajaran kebenaran dan disertai doa-doa yang selaras dengan agama yang dianut oleh kelompok tersebut. Sehingga pelaksanaan Ngendhong Muyen tetap perlu untuk dilestarikan.
Namun dalam kenyataannya, generasi muda saat ini enggan untuk melestarikan tradisi budaya yang adiluhung tersebut, dengan alasan karena jangka waktu pelaksanaan yang relatif lama dan menguras tenaga serta kantong rumah yang punya bayi……



--ag.--

Tidak ada komentar:

Posting Komentar